Menyambung postingan saya sebelumnya mengenai Kopi Kapal Api, saya mencoba mencari tau merk-merk kopi yang telah diseduh sejak dulu... diantaranya Kopi Warung Tinggi, Kopi Kapal Api dan Kopi Aroma.... berikut ceritanya...(Thanks buat Bang Tony atas foto-fotonya disini)
Apa rasanya ya menjadi juragan kopi seperti mereka???
===========================
Pemain Tua di Pasar Kopi
TAK jelas, berapa banyak merek kopi yang beredar di pasar. Antara daerah satu dengan daerah lain sering tak sama. Sebab, ditengah persaingan berbagai merek kemasan kopi moderen, terselip pula produk tradisional hasil olahan industri rumahan. Tak mengherankan jika jumlahnya dari tahun ke tahun naik turun, timbul tenggelam. Satu pergi (bangkrut) diganti merek baru lagi, dan seterusnya.
Dari sekian produk tua yang ada, hanya sebagian kecil yang bisa bertahan, dan hingga kini masih berkembang. Inilah beberapa di antaranya:
Kopi Warung Tinggi:
Tertua dari Jakarta
MEREK ini terhitung yang tertua dibanding merek-merek lainnya. Perusahaan kopi ini didirikan oleh Liauw Tek Siong yang dikenal sebagai "Sang Pemula" produsen kopi perorangan di Indonesia.
Berawal dari usaha kedai makanan dan minuman di Jalan Molenvliet Oost, kini Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, pada 1878. Liauw mulai melirik kesenangan orang-orang Belanda menyeruput kopi dan menyediakan minuman segar itu di warungnya. Bahan baku biji kopi ia beli dari perempuan penjaja yang setiap hari datang ke warungnya. Biji-biji kopi itu kemudian disangrai dan ditumbuknya sendiri sampai siap diseduh.
Pelan tapi pasti, ia kemudian sadar bahwa kopi berpotensi besar dikembangkan sebagai lahan bisnisnya. Ia lalu mendirikan toko kopi berjuluk Tek Sun Ho. Toko itu yang juga menjual bubuk kopi kemasan itu ditanganinya sendiri sampai 1927. Pada tahun itu juga ia menyerahkan pengelolaan harian toko kepada anaknya, Liauw Tian Djie.
Di tangan sang anak, toko kopi ini boleh dibilang kian maju. Tian Djie pun memperbarui proses produksi tokonya dengan mengganti alat sangrainya. Pembaruan alat ini dilakukannya untuk memenuhi peningkatan produksi karena permintaan langganannya meningkat pesat.
Pada ulang tahun keenam puluh tokonya, Tian Djie membuat gebrakan baru. Terinspirasi oleh perempuan penjaja kopi yang dahulu datang setiap hari ke toko itu, ia pun menjadikan gambar perempuan menjunjung keranjang di kepala sebagai logo usahanya. Ia pun mulai merambah pasar ekspor, yakni ke Belanda.
Setelah peristiwa berdarah G-30-S/PKI pada 1965, pemerintah Indonesia memberlakukan peraturan pengindonesiaan semua nama Cina. Sejak itu pula Tian Djie menggunakan merek dagang "Warung Tinggi" pada setiap kemasan kopinya.
Kini, di tangan generasi ketiga, Liauw Tiam Yan yang memimpin perusahaan sejak 1969, perusahaan itu telah memakai peralatan modern dan tempat produksinya dipindahkan ke Tangerang. Tujuan ekspor produknya pun meluas sampai ke Jepang dan negara-negara Timur Tengah.
Pada 2001, perusahaan ini dipecah dua. Yang satu tetap memakai merek dagang "Warung Tinggi", sedang lainnya menggunakan merek dagang baru, yakni "Bakoel Koffie". Merek dagang yang terakhir inilah yang sampai sekarang masih dipegang oleh keturunan asli Liauw Tek Siong.
Kopi Kapal Api:
Karya Anak Fujian
PENDIRI perusahaan kopi yang berbasis di Surabaya ini, Go Soe Loet, boleh bangga. Produk perusahaan yang dirintis pria asal Fujian, Cina Daratan, itu kini menempati posisi teratas dalam pasar kopi di Indonesia. Dalam data yang diolah dari berbagai sumber, Kopi Kapal Api merebut 65% pasar kopi nasional. Ia mengalahkan merek-merek lain yang tak kalah populer.
Go Soe Loet yang mulai merantau ke Indonesia sejak awal abad XX itu mulai mendirikan usahanya pada 1927. Ketika itu naluri bisnisnya mengatakan, peluang dagang masih begitu terbuka untuk kopi. Sehari-hari, sembari menjual sayur-mayur, ia melihat banyak orang suka menyeruput kopi. Alhasil, ia memutuskan menjual kopi dengan merek dagang sendiri, yaitu "Kapal Api".
Pada awalnya, untuk menekan harga agar terjangkau oleh masyarakat luas, Soe Loet mencampur produk kopi bubuknya dengan jagung. Tetapi, tak seperti kopi lainnya di pasar yang rata-rata bermutu rendah, ia berusaha tetap menjaga kualitas rasa dan aroma kopinya. Kemasan produknya sampai tahun 1970-an memang masih dalam bungkus kertas.
Pada 1968, anak kedua Soe Loet, Soedomo Mergonoto, mulai bergabung ke perusahaan ini sebagai tenaga penjual. Kala itu, produksinya masih beberapa ratus kilogram per hari. Sepuluh tahun kemudian, pada 1978, saat Soedomo dipercayai mengendalikan perusahaan, sebuah gebrakan dilakukan perusahaan ini. Kopi Kapal Api mulai tersedia dalam kemasan seratus gram.
Malah, dengan berani ia memutuskan memasang iklan (siaran niaga) di TVRI pada akhir 1970-an, lewat kontrak selama tiga bulan. Perusahaan ini relatif menjadi pelopor dalam iklan kopi di layar kaca. Dengan memilih pelawak Jawa Timur yang lagi naik daun, Paimo Srimulat, sebagai bintang iklan, nama Kopi Kapal Api pun cepat melesat. Berbarengan dengan itu, tingkat penjualannya pun meningkat berlipat-lipat. Hanya dalam waktu empat tahun, pada 1984, perusahaan ini telah memakai mesin yang mampu memproduksi 500 kilogram kopi per jam. Kini, Kopi Kapal Api sudah memiliki mesin dengan kapasitas produksi yang jauh lebih besar, yakni 5 ton per jam.
Kopi Aroma:
Yang Bertahan di Banceuy
BICARA soal kopi di Bandung, niscaya ingatan orang tertuju ke Kopi Aroma. Dirintis sejak 1930 oleh Tan Houw Sian, perusahaan kopi yang berlokasi di Jalan Banceuy itu kini ditangani oleh generasi kedua, anak tunggalnya, Widyapratama yang kerap disapa Pak Widya.
Perusahaan ini sejak awal sudah berkembang. Pada 1936 Houw Sian sudah mampu membeli mesin pengolah buatan Jerman merek Probat. Perusahaan ini punya keunikan tersendiri. Bukan saja karena hanya mengolah kopi langsung dari tangan petani di Aceh, Lampung, hingga Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur yang menjadi langganannya. Houw Sian menurunkan tradisi menyimpan dulu kopinya selama beberapa tahun sebelum diolah. Untuk jenis Robusta penyimpanan itu selama 5 tahun, sedangkan jenis Arabika disimpan dulu selama 8 tahun.
Menurut Widya, tradisi itu tetap ia pertahankan karena berkaitan erat dengan kualitas rasa kopi produksi perusahaannya. Malah, rumahnya di Jalan Banceuy No. 51 yang berdiri di atas lahan seluas 1.300 meter persegi itu tetap dipertahankan sebagai tempat penjemuran, gudang penyimpanan, pabrik pengolahan, sekaligus toko.
Kopi yang menggunakan merek dagang Koffie Fabriek Aroma ini rupanya sengaja tak dikembangkan sebagai produksi massal. Widya yang lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran ini punya alasan sendiri untuk tetap bertahan dengan kondisi usahanya itu. Ia tak mau lebih repot bila perusahaan itu menjadi lebih besar lagi.
Seperti ayahnya dulu, Widya turun ke lapangan memilih sendiri biji kopi di perkebunan langganannya. Sebab, ia tetap ingin mempertahankan kualitas rasa kopi produk perusahaannya yang tidak besar itu. Malah, bubuk kopinya yang dijual seharga Rp 30 ribu per kilo untuk jenis Robusta dan Rp 38 ribu per kilo untuk jenis Arabika itu hanya dapat dijumpai di toko Jalan Banceuy itu saja.
Walau demikian, toh, banyak orang mengenal kualitas kopi yang sampai kini masih diolah dengan mesin kuno buatan Jerman itu. Lebih-lebih, orang jadi mudah mengingat merek Aroma setelah singgah di toko berarsitektur art deco itu.
Erwin Y.S. dan Taufik Abriansyah (Bandung)
[Ragam, GATRA, Edisi 47 Beredar Jumat 3 Oktober 2003]
3 comments:
salam kenal bos sesama pecinta kopi nih :)
Jadi tahu sejarah pemain kopi di Indonesia. Nice article, nice inspiring
Wah, rupanya kita sesama penyuka kopi tubruk kayu manis.
salam coffeelover
Post a Comment