Pak Pandim,
Kalau bapak ada kebetulan membaca blog ini, saya ingin belajar cara menikmati kopi...
Terima kasih sebelumnya...
Salam,
PenikmatKopi_Wannabe
=================================================
Padamu Negeri Kamis, 08 November 2007 - 23:54 wib
Haji Pandim, Penguji Kopi Pagar Alam
Haji Pandim
Kompas/Wisnu Aji Dewabrata
Gudang kopi di Jalan Kombes H Umar, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, itu amat terkenal bagi warga kota kecil di lereng Gunung Dempo. Gudang kopi tersebut milik Haji Pandim yang memiliki keahlian sebagai tester (penguji) kualitas kopi yang dibawa para petani.
Setelah melalui pengujian oleh Mang Pandim-panggilannya-dari gudang itulah kopi pagar alam jenis robusta dibawa ke Provinsi Lampung. Kemudian dari Lampung, kopi pagar alam beredar ke seluruh Indonesia, bahkan dunia.
Laki-laki berusia 57 tahun ini memiliki kemampuan menjaga kualitas kopi pagar alam yang akan dipasarkan ke luar daerah, agar harganya tidak jatuh. Sebagai benteng pemasaran, dia tak segan-segan menyuruh petani membawa pulang hasil kebunnya jika kualitas kopi yang dibawa buruk.
Ketika ditemui Kompas pada pertengahan Agustus lalu, Mang Pandim, yang nama aslinya Haji Ahmad Dimyati Rais, sedang duduk di depan timbangan di gudang kopi miliknya. Di balik timbangan, antrean petani kopi terus bertambah. Para petani itu membawa hasil panen kopi dari kebun masing-masing untuk dijual kepada Mang Pandim.
Para petani satu per satu meletakkan contoh biji kopi di atas nampan plastik. Mang Pandim kemudian meremas-remas biji kopi dalam nampan itu. Dalam waktu sekejap, dia langsung menyebut harga untuk biji kopi yang dibawa.
"Ini Rp 12.500 per kilogram, yang ini Rp 12.000. Ini cuma Rp 9.000, coba jemur dua hari lagi, lalu bawa ke sini," katanya kepada petani pemilik kopi setiap kali selesai meremas contoh biji kopi.
Setelah si petani setuju dengan harga yang ditawarkan Mang Pandim, mereka mendapat kertas kecil bertuliskan berat kopi dan harganya. Petanitinggal menukarkan kertas kecil itu ke kasir. Maka, biji kopi itu langsung dibayar.
"Pokoknya cash and carry," ujar Mang Pandim. Setiap hari Mang Pandim menampung 20 ton-30 ton biji kopi. Jadi, bisa dibayangkan berapa omzetnya setiap hari.
Tangan Mang Pandim adalah penguji kopi yang sangat akurat. Hanya dengan meremas biji kopi selama beberapa detik, dia dapat menaksir kadar air dalam biji kopi yang diremasnya. Kalau orang lain mencoba meremas beberapa contoh biji kopi, bisa-bisa sama sekali tidak terasa ada perbedaan. Semua biji kopi terasa kering.
"Dengan meremas biji kopi, saya bisa merasakan kadar airnya banyak atau sedikit. Sedangkan kualitas biji bisa dilihat dari bentuknya, apakah mulus atau tidak," ujarnya.
Ilmu meremas biji kopi itu dipelajari Mang Pandim selama 10 tahun sampai benar-benar akurat. Ia pun mengakui pernah salah menaksir kadar kekeringan kopi. Jika Anda ingin menjadi penguji kopi, setidaknya perlu waktu 10 tahun untuk belajar "meremas" biji kopi.
"Biji kopi yang saya pegang tidak ada yang sama rasanya dalam genggaman, pasti berbeda. Saya pernah berdebat dengan petani yang mengatakan kopinya kering, tapi saya tahu sebenarnya masih basah," katanya.
Mobil bekas
Sebelum menggeluti bisnis kopi, Mang Pandim berbisnis mobil bekas pada 1977-1979. Seingatnya sudah 100 mobil bekas yang dibawanya dari Jawa kePagar Alam. "Saya hafal seluk beluk kampung-kampung di Jakarta karena dulu sering masuk-keluar kampung mencari mobil bekas," tuturnya.
Semakin lama bisnis mobil bekas semakin tidak menguntungkan baginya karena muncul pesaing. Akhirnya, Mang Pandim memutuskan untuk meninggalkan bisnis mobil bekas dan mulai berbisnis kopi pada tahun 1983. Ia melanjutkan bisnis kopi orangtua.
Saat mulai berbisnis, karyawan Mang Pandim hanya empat orang. Kini jumlah karyawannya menjadi 10orang dengan jumlah truk pengangkut kopi sebanyak 12 buah. Perkembangan harga kopi dunia diikutinya dari dua telepon genggam di saku.
"Kunci kesuksesan berbisnis kopi adalah kepercayaan. Kepercayaan dari eksportir ataupun petani. Jangan sampai kepercayaan terhadap kualitas kopi pagar alam hilang. Susah mengembalikan kepercayaan yang sudah hilang," ujar Mang Pandim yang punya beberapa rumah di Jakarta dari hasil berbisnis kopi.
Karena kepercayaan itulah, sampai sekarang eksportir kopi di Lampung tak pernah memeriksa ulang karung kopi dari Mang Pandim. Meski, katanya, saat ini harga kopi sedang mahal sehingga bisa saja ada pedagang nakal yang mencampur kopi pagar alam dengan kopi biasa.
Ratu Belanda
Menurut Mang Pandim, perkebunan kopi di Pagar Alam pertama kali dibuka tahun 1920. Setelah Belanda hengkang, semua perkebunan kopi menjadi milik rakyat. Kopi pagar alam istimewa karena aromanya. Bahkan, pada zaman kolonial Belanda kopi pagar alam disajikan untuk Ratu Belanda.
Tak cuma penguji biji kopi, Mang Pandim juga telah mencicipi berbagai jenis kopi. Namun, dari berbagai jenis kopi yang dia minum, menurut selera lidahnya, tak ada yang senikmat kopi pagar alam.
"Aroma kopi pagar alam sangat wangi, bahkan sebelum diseduh. Di tenggorokan juga tidak terasa lengket. Kadar kafein kopi pagar alam tinggi. Jadi untuk konsumsi di Jawa sering dicampur dengan kopi jenis lain," tuturnya.
Kelebihan aroma kopi pagar alam telah "diakui" industri kopi. Ia lalu menyebut salah satu merek kopi populer yang menggunakan kopi pagar alam sebagai campuran untuk mendapatkan aromanya.
Bahkan, kopi lampung pun kebanyakan berasal dari kopi pagar alam. Sekitar 60 persen hingga 70 persen kopi lampung berasal dari tanaman kopi di Pagar Alam.
Mendidik petani
Untuk mendorong petani agar menjemur kopi lebih lama, ia menetapkan selisih harga yang jauh antara kopi kering kualitas satu dan kopi yang masih basah. Harga kopi kering Rp 12.500 sampai Rp 13.000 per kilogram, sedangkan kopi basah dihargai sekitar Rp 9.000 per kilogram.
Sayang, sebagian petani tak mau repot menjemur kopi sampai kering betul. Petani lebih suka menjual kopi yang masih basah agar lebih berat pada timbangan.
Menurut dia, pada zaman Belanda ada peraturan, kopi harus dijemur di atas tikar sampai kering. Buah kopi yang boleh dipetik hanya yang sudah merah. Peraturan itu masih dipatuhi sampai tahun 1980-an. Namun, sekarang petani tak lagi peduli.
Harga kopi yang menggiurkan menimbulkan efek samping negatif, yaitu semakin meningkatnya kerusakan hutan di lereng Gunung Dempo.
"Perkebunan kopi semakin luas, bukit-bukit dijadikan kebun kopi. Akibatnya, Kota Pagar Alam jadi panas. Sekarang banyak rumah memakai AC, bukan mau sok tetapi memang cuaca makin panas sejak empat tahun terakhir," ujar dia prihatin.
Mang Pandim juga dikenal sebagai tokoh masyarakat Kota Pagar Alam karena mampu merangkul semua golongan masyarakat di kota itu. Beberapa piagam penghargaan yang didapatnya sebagai tokoh masyarakat terpampang di dinding gudang kopi. Salah satu piagam itu berasal dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
"Saya tak mau jadi pejabat, bisa stres. Ada beberapa tawaran yang mengajak saya maju dalam Pilkada Kota Pagar Alam, tapi saya tolak. Saya lebih suka begini," katanya sambil tertawa.
Sumber: Kompas
Penulis: Wisnu Aji Dewabrata
No comments:
Post a Comment