Ngopi bareng Max Havelaar
Oleh T. CHRISTOMY
"PAK Saini KM menyeduh kopinya dengan 20 kocekan ke kanan dan 20 kocekan ke kiri," kata Cecep Syamsul Hari, penyair dan salah satu editor Horison, ketika saya menyeduh kopi tubruk.
"Walaupun orang Jepang suka kopi toraja, saya sendiri lebih suka kopi papua," sergah Seichi Okawa ketika berjumpa di Seoul. Seichi kini bekerja pada salah satu stasiun tv swasta Indonesia. Sapardi Djoko Damono, yang juga datang ke Seoul beberapa waktu lalu, mengaku suka ke Bandung hanya untuk beli kopi di Jalan Banceuy, dan, kawan saya, si Sergei dari St. Petersburg Rusia selalu berkata "Please good coffee! No american coffee," katanya bak humor perang dingin Rusia. Sementara itu, Prof. Dr. Ida Sundari Husen, Dekan FIBUI, masih di Seoul, baru-baru ini sempat membuat pelayan terbelalak gara-gara beliau pesan espresso short. Si pelayan agak ragu, apa betul si ibu "berani" meneguk kopi pahit superkental itu tanpa krim.
Bagaimanapun, kopi menyisakan cerita yang perlu "diseduh".
**
ALKISAH, segerombolan kafilah unta membuka kemahnya di padang pasir Yaman. Malam hari, mereka membuat api unggun. Salah seorang di antaranya melempar ranting-ranting kecil ke dalam bara. Mereka tersentak mencium aroma menyengat yang berasal dari beberapa butir buah kecil kemerahan yang menempel di ranting.
Itulah kopi (kahwa) yang beraroma dahsyat ketika terpanggang api. Dari kemah kafilah Yaman itulah kopi menyeruak dunia.
Setelah kekaisaran Ottoman hilang pengaruhnya di Eropa, pintu ke arah harumnya kopi lebih terbuka. Kendati demikian, tidaklah mudah untuk mendapatkan bibit kopi arabika pilihan. Orang Arab pun sekuat tenaga melindungi bibit kopinya agar tidak ditanam di luar Jazirah Arab sebagaimana orang Cina memproteksi upaya pelarian bibit teh hijau ke luar negeri pada masa awal kejayaan teh hijau. Dapat dipahami mengapa pada abad ke-17/18 orang Eropa pun cuma diperkenankan memborong kopi dari pelabuhan al-Mukha, yang kemudian dikenal dengan mocha coffee.
Masyarakat Inggris sempat dihebohkan "minuman" Turki ini. Mereka mencatat, seperti yang dikutip Cowan (2005), "Rasanya dahsyat."
Sebagian menyeruput, lainnya malah menuduh kopi berbahaya secara politis. "Bukankah kopi milik orang Turki?" Pada masa itu, mereka khawatir, seperti yang dituturkan Brian Cowan (2005) penulis buku The Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse, kopi ditengarai dapat mengubah cara pandang mereka terhadap orang Turki. Sejarah membuktikan, mereka tak kuasa menahan serbuan aroma kopi bahkan mereka kelak menjadi salah satu pengusung tradisi minum kopi Eropa: siapa tak kenal irish coffee. Bahkan pada 1702 di Inggris ada kedai kopi yang bernama "Turk's Head".
**
TENTU saja, di antara orang Eropa, Belandalah yang paling nekat dan kenekatannya itu membuat peta perkopian dunia berubah. Dari segi perdagangan, komoditas kopi setara dengan gula dan rempah-rempah lainnya bagi Kerajaan Belanda. Bibit kopi arabika unggulan kemudian diselundupkan ke Asia Tenggara melalui "jalur" haji. Sejak saat itulah, Jawa dan Sumatra mewarisi biji kopi terbaik dunia. Sukses di Jawa, Belanda menanam kopinya di Suriname, disusul Prancis dan Inggris di tanah para leluhur Indian.
Yang menarik, orang Belanda ternyata lebih suka duit kopi daripada seni ngopi. Mereka cenderung menjadi pemasok biji kopi saja, sementara negara-negara lain yang tidak seberuntung Belanda, dalam hal kepemilikan tanah jajahan yang luas membentang di garis khatulistiwa yang pada umumnya cocok untuk menamam kopi, berusaha mengembangkan produk-produk after market dan aksesori yang terkait.
Oleh karenanya, dalam jagat minum kopi, siapa yang tak kenal espresso dari Italia atau french coffee atau irish coffee? "Raja Kami, Tsar the Great, mendapat kopinya dari Belanda tapi kami belajar meracik kopi dari Prancis," kata kamerad Sergei, ahli media dari Rusia.
**
LEZATNYA kopi, selain ditentukan oleh ketinggian dan keasaman tanah, juga dipengaruhi oleh berbagai hal yang mengiringi pasca-pemetikannya: memetik, mengeringkan, memilih, menyangray, menggiling, dan menyimpan. Kopi dari Jawa pada zaman Belanda menjadi sangat mahal di Eropa karena beraroma khas akibat selain matang juga disimpan cukup lama sebelum dilelang.
Dalam istilah pencinta kopi, rasanya full body taste alias lezat, mantap, dan agak berminyak kalau diseduh. Belanda pun tumbuh sebagai pemasok arabika terpenting.
Cafe-cafe terkenal pun merasa harus mengabadikan java coffee dalam menunya. Di balik nama itu terpahatlah kegetiran cultuurstelsel, sistem bercocok tanam paksa yang terkait dengan kebutuhan ekonomi kolonial yang hampir bangkrut gara-gara korupsi di Hindia Belanda dan utang Kerajaan Belanda yang membengkak serta kekalutan ekonomi Negeri Kincir Angin akibat Belgia memisahkan diri dari Belanda.
Amsterdam disaput wangi kopi asal Sumatra dan Jawa. "Anda tahu?" kata kawan saya ketika kami menyusuri sebuah gang dari awal abad ke-18 di Amsterdam, "Gedung-gedung tua itu, sebagian besar, selain dibuat dari rempah-rempah, juga dibuat dari kopi pilihan yang ditanam di Jawa dan Sumatera bercampur dengan bau keringat dan anyir darah kuli kontrak."
Yang pasti, 34% pendapatan Negeri Kincir Angin didapat dari tenaga dan darah kuli kontrak dan para petani kita.
Di Pulau Jawa, kopi banyak di tanam di Priangan, Banten, dan Kedu. Dalam sistem tanam paksa ini, beberapa menak tertarik untuk menjadi broker antara sang majikan, Belanda, dan petani. Menak yang broker kopi ini, menurut Ricklefs (1993), bekerja sama dengan pegawai Belanda untuk memenuhi target ekspor kopi. Akibatnya, tak jarang terjadi kekerasan dan pemaksaan.
Semula, culturstelsel dianggap sebagai pengganti pajak tanah belaka yang besarnya 40%. Namun di lapangan, kebijakan itu betul-betul menjadi pengerahan tenaga kerja gratis dan pemanfaatan lahan percuma pula. "... kalau ada orang bertanya apakah si petani sendiri mendapat upah sebanding dengan hasilnya, maka saya harus mengatakan tidak," kata Max Havelaar (Multatuli, 1985: 63). "Untuk menggerakkan orang-orang yang sederhana itu, cukuplah mempunyai pengetahuan politik sedikit," tambahnya.
Lebih dari itu, tanam paksa pun mendorong gaya hidup jor-joran di kalangan makelar seperti yang dituturkan Havelaar.
"Havelaar menerima sepucuk surat dari bupati Cianjur yang memberitahukan bahwa ia hendak mengunjungi pamannya, adipati Lebak. Berita itu sangat tidak menyenangkan baginya. Ia tahu betapa kepala-kepala negeri di kabupaten-kabupaten Priangan biasanya memamerkan kemewahannya dan betapa temenggung Cianjur melakukan perjalanan demikian dengan iringan beratus-ratus orang yang harus disediakan tempat dan makannya bersama kuda-kudanya. Ia ingin mencegah kunjungan itu, tapi sia-sia ia memikirkan bagaimana cara menghindarkannya, tanpa melukai hati Bupati Rangkas Betung.... Dan jika kunjungan itu tidak dapat dihindarkan, maka pasti akan memberatkan beban yang ditanggung oleh penduduk" (Max Havelaar, karya Multatuli terjemahan HB Jassin cetakan keenam, 1985: 253).
Multatuli, melalui tokoh Max Havelaar, dengan jitu menggambarkan gaya hidup para priyayi ketika itu. Perbudakan tidak hanya dilakukan penjajah asing dan broker kopi yang melulu mencari untung seperti Batavus Droogstoppel tetapi juga didukung sebagian kelas menengah pribumi yang tidak mau kehilangan gaya hidupnya. Kepahitan aroma perbudakan pada saat tanam paksa terhirup.
Kendati demikian, masih ada cendekia Belanda yang menggerutu bahwa Max Havelaar justru menghalangi emansipasi politis bangsa Indonesia akibat sikapnya yang terlalu sinis, tidak mau kompromi, tidak tahu kebudayaan lokal, dan keras (Fasseur, 1992). Mungkin dia benar bahwa Max Havelaar tidak paham urusan kawula dan gusti dalam konteks menak-menak di tatar Sunda sehingga kritiknya terlalu "barat". Selain itu, Max Havelaar pun tidak menyampaikan pikiran politisnya lewat parpol: ia orang merdeka. Oleh karena itu, alih-alih diterima pikirannya, ia dipecat dan dieliminasi dari pekerjaannya.
Tapi cendekia itu pun harus berani bertanya, "Seandainya bukan Max Havelaar siapa kiranya yang berani menelanjangi Belanda pada masa itu." Tentu bukan Christiaan Snouck Hurgronje atau Abendanon, bahkan Van Deventer yang semata menjadi skrup kolonial kendati pernah mengusulkan konsep seperti srigala berbulu domba. Eduard Douwes Dekker, melalui makelar dagang kopinya, mengucek-ngucek sikap eksploitatif Belanda. Meminjam kata-kata Pramoedya (1999), Max Havelaar sedang "membunuh kolonialisme".
Karakter Max Havelaar akhirnya memberi inspirasi banyak pihak tentang kejamnya kolonialisme. Bahkan sebuah organisasi pendukung fair trade di Swiss berupaya untuk menjadi mediator kopi yang adil. Maksudnya, ketika kita minum kopi di warung kopi waralaba yang mahal, fair trade organization berusaha meningkatkan harkat para penanam kopinya atau membantu masyarakat yang berhasil menanam kopi dengan baik, tapi selalu tidak bisa menjualnya dengan harga yang wajar akibat permainan calo kopi yang teramat serakah bak tokoh Droogstoppel dalam Max Havelaar itu.
**
KALAU Belanda bisa kaya karena kopi Indonesia, mengapa kita tidak bisa meningkatkan harkat petani kopi, pedagang kopi, peminum kopi, dan siapa pun yang terlibat dengan kopi dengan cara yang lebih baik.
Sebagian besar penjaja kopi di kota-kota besar Indonesia itu datang dari negeri "antah berantah" dan sebagian besar di antaranya hanya "konsumen" saja. Kopi tubruk pun belum menjadi racikan pilihan. Kendati wilayah Priangan pernah menjadi lahan penanaman kopi, belum ada istilah "priangan blend" atau "sangkuriang blend". Lebih menyedihkan lagi, sebagian konsumen kelas menengah atau mereka yang kebelet dengan gaya hidup tertentu merasa belum ngopi kalau belum menghirup kopi seduhan warung kopi waralaba yang harganya bisa di atas 1-2 dolar AS per gelas.
Sebetulnya, ribuan mulut menyambangi Bandung setiap akhir pekan. Hal ini merupakan kesempatan yang baik untuk penanam kopi, penyangray, dan siapa pun yang suka kopi untuk mempromosikan wisata ngopi ala Bandung.
Saya bermimpi, tokoh semacam Widyapratama (50), misalnya, dari Kopi Banceuy itu, atau NHI, atau Dinas Pariwisata Jawa Barat, atau mahasiswa tataboga dari UPI dan asosiasi pengusaha kopi Indonesia bisa menjadi motor kegiatan semacam ini dan mengedukasi publik tentang pernak-pernik ngopi sambil mempromosikan "Bandung Coffee Tubruk Festival" atau bikin kenduri "Ngopi Euy".
Max Havelaar dan makelar kopi Batavus Droogstoppel pun mungkin tersenyum dan akur karenanya.***
Penulis, penikmat kopi arabika tanpa gula. E-mail: tsx60@yahoo.com.
Oleh T. CHRISTOMY
"PAK Saini KM menyeduh kopinya dengan 20 kocekan ke kanan dan 20 kocekan ke kiri," kata Cecep Syamsul Hari, penyair dan salah satu editor Horison, ketika saya menyeduh kopi tubruk.
"Walaupun orang Jepang suka kopi toraja, saya sendiri lebih suka kopi papua," sergah Seichi Okawa ketika berjumpa di Seoul. Seichi kini bekerja pada salah satu stasiun tv swasta Indonesia. Sapardi Djoko Damono, yang juga datang ke Seoul beberapa waktu lalu, mengaku suka ke Bandung hanya untuk beli kopi di Jalan Banceuy, dan, kawan saya, si Sergei dari St. Petersburg Rusia selalu berkata "Please good coffee! No american coffee," katanya bak humor perang dingin Rusia. Sementara itu, Prof. Dr. Ida Sundari Husen, Dekan FIBUI, masih di Seoul, baru-baru ini sempat membuat pelayan terbelalak gara-gara beliau pesan espresso short. Si pelayan agak ragu, apa betul si ibu "berani" meneguk kopi pahit superkental itu tanpa krim.
Bagaimanapun, kopi menyisakan cerita yang perlu "diseduh".
**
ALKISAH, segerombolan kafilah unta membuka kemahnya di padang pasir Yaman. Malam hari, mereka membuat api unggun. Salah seorang di antaranya melempar ranting-ranting kecil ke dalam bara. Mereka tersentak mencium aroma menyengat yang berasal dari beberapa butir buah kecil kemerahan yang menempel di ranting.
Itulah kopi (kahwa) yang beraroma dahsyat ketika terpanggang api. Dari kemah kafilah Yaman itulah kopi menyeruak dunia.
Setelah kekaisaran Ottoman hilang pengaruhnya di Eropa, pintu ke arah harumnya kopi lebih terbuka. Kendati demikian, tidaklah mudah untuk mendapatkan bibit kopi arabika pilihan. Orang Arab pun sekuat tenaga melindungi bibit kopinya agar tidak ditanam di luar Jazirah Arab sebagaimana orang Cina memproteksi upaya pelarian bibit teh hijau ke luar negeri pada masa awal kejayaan teh hijau. Dapat dipahami mengapa pada abad ke-17/18 orang Eropa pun cuma diperkenankan memborong kopi dari pelabuhan al-Mukha, yang kemudian dikenal dengan mocha coffee.
Masyarakat Inggris sempat dihebohkan "minuman" Turki ini. Mereka mencatat, seperti yang dikutip Cowan (2005), "Rasanya dahsyat."
Sebagian menyeruput, lainnya malah menuduh kopi berbahaya secara politis. "Bukankah kopi milik orang Turki?" Pada masa itu, mereka khawatir, seperti yang dituturkan Brian Cowan (2005) penulis buku The Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse, kopi ditengarai dapat mengubah cara pandang mereka terhadap orang Turki. Sejarah membuktikan, mereka tak kuasa menahan serbuan aroma kopi bahkan mereka kelak menjadi salah satu pengusung tradisi minum kopi Eropa: siapa tak kenal irish coffee. Bahkan pada 1702 di Inggris ada kedai kopi yang bernama "Turk's Head".
**
TENTU saja, di antara orang Eropa, Belandalah yang paling nekat dan kenekatannya itu membuat peta perkopian dunia berubah. Dari segi perdagangan, komoditas kopi setara dengan gula dan rempah-rempah lainnya bagi Kerajaan Belanda. Bibit kopi arabika unggulan kemudian diselundupkan ke Asia Tenggara melalui "jalur" haji. Sejak saat itulah, Jawa dan Sumatra mewarisi biji kopi terbaik dunia. Sukses di Jawa, Belanda menanam kopinya di Suriname, disusul Prancis dan Inggris di tanah para leluhur Indian.
Yang menarik, orang Belanda ternyata lebih suka duit kopi daripada seni ngopi. Mereka cenderung menjadi pemasok biji kopi saja, sementara negara-negara lain yang tidak seberuntung Belanda, dalam hal kepemilikan tanah jajahan yang luas membentang di garis khatulistiwa yang pada umumnya cocok untuk menamam kopi, berusaha mengembangkan produk-produk after market dan aksesori yang terkait.
Oleh karenanya, dalam jagat minum kopi, siapa yang tak kenal espresso dari Italia atau french coffee atau irish coffee? "Raja Kami, Tsar the Great, mendapat kopinya dari Belanda tapi kami belajar meracik kopi dari Prancis," kata kamerad Sergei, ahli media dari Rusia.
**
LEZATNYA kopi, selain ditentukan oleh ketinggian dan keasaman tanah, juga dipengaruhi oleh berbagai hal yang mengiringi pasca-pemetikannya: memetik, mengeringkan, memilih, menyangray, menggiling, dan menyimpan. Kopi dari Jawa pada zaman Belanda menjadi sangat mahal di Eropa karena beraroma khas akibat selain matang juga disimpan cukup lama sebelum dilelang.
Dalam istilah pencinta kopi, rasanya full body taste alias lezat, mantap, dan agak berminyak kalau diseduh. Belanda pun tumbuh sebagai pemasok arabika terpenting.
Cafe-cafe terkenal pun merasa harus mengabadikan java coffee dalam menunya. Di balik nama itu terpahatlah kegetiran cultuurstelsel, sistem bercocok tanam paksa yang terkait dengan kebutuhan ekonomi kolonial yang hampir bangkrut gara-gara korupsi di Hindia Belanda dan utang Kerajaan Belanda yang membengkak serta kekalutan ekonomi Negeri Kincir Angin akibat Belgia memisahkan diri dari Belanda.
Amsterdam disaput wangi kopi asal Sumatra dan Jawa. "Anda tahu?" kata kawan saya ketika kami menyusuri sebuah gang dari awal abad ke-18 di Amsterdam, "Gedung-gedung tua itu, sebagian besar, selain dibuat dari rempah-rempah, juga dibuat dari kopi pilihan yang ditanam di Jawa dan Sumatera bercampur dengan bau keringat dan anyir darah kuli kontrak."
Yang pasti, 34% pendapatan Negeri Kincir Angin didapat dari tenaga dan darah kuli kontrak dan para petani kita.
Di Pulau Jawa, kopi banyak di tanam di Priangan, Banten, dan Kedu. Dalam sistem tanam paksa ini, beberapa menak tertarik untuk menjadi broker antara sang majikan, Belanda, dan petani. Menak yang broker kopi ini, menurut Ricklefs (1993), bekerja sama dengan pegawai Belanda untuk memenuhi target ekspor kopi. Akibatnya, tak jarang terjadi kekerasan dan pemaksaan.
Semula, culturstelsel dianggap sebagai pengganti pajak tanah belaka yang besarnya 40%. Namun di lapangan, kebijakan itu betul-betul menjadi pengerahan tenaga kerja gratis dan pemanfaatan lahan percuma pula. "... kalau ada orang bertanya apakah si petani sendiri mendapat upah sebanding dengan hasilnya, maka saya harus mengatakan tidak," kata Max Havelaar (Multatuli, 1985: 63). "Untuk menggerakkan orang-orang yang sederhana itu, cukuplah mempunyai pengetahuan politik sedikit," tambahnya.
Lebih dari itu, tanam paksa pun mendorong gaya hidup jor-joran di kalangan makelar seperti yang dituturkan Havelaar.
"Havelaar menerima sepucuk surat dari bupati Cianjur yang memberitahukan bahwa ia hendak mengunjungi pamannya, adipati Lebak. Berita itu sangat tidak menyenangkan baginya. Ia tahu betapa kepala-kepala negeri di kabupaten-kabupaten Priangan biasanya memamerkan kemewahannya dan betapa temenggung Cianjur melakukan perjalanan demikian dengan iringan beratus-ratus orang yang harus disediakan tempat dan makannya bersama kuda-kudanya. Ia ingin mencegah kunjungan itu, tapi sia-sia ia memikirkan bagaimana cara menghindarkannya, tanpa melukai hati Bupati Rangkas Betung.... Dan jika kunjungan itu tidak dapat dihindarkan, maka pasti akan memberatkan beban yang ditanggung oleh penduduk" (Max Havelaar, karya Multatuli terjemahan HB Jassin cetakan keenam, 1985: 253).
Multatuli, melalui tokoh Max Havelaar, dengan jitu menggambarkan gaya hidup para priyayi ketika itu. Perbudakan tidak hanya dilakukan penjajah asing dan broker kopi yang melulu mencari untung seperti Batavus Droogstoppel tetapi juga didukung sebagian kelas menengah pribumi yang tidak mau kehilangan gaya hidupnya. Kepahitan aroma perbudakan pada saat tanam paksa terhirup.
Kendati demikian, masih ada cendekia Belanda yang menggerutu bahwa Max Havelaar justru menghalangi emansipasi politis bangsa Indonesia akibat sikapnya yang terlalu sinis, tidak mau kompromi, tidak tahu kebudayaan lokal, dan keras (Fasseur, 1992). Mungkin dia benar bahwa Max Havelaar tidak paham urusan kawula dan gusti dalam konteks menak-menak di tatar Sunda sehingga kritiknya terlalu "barat". Selain itu, Max Havelaar pun tidak menyampaikan pikiran politisnya lewat parpol: ia orang merdeka. Oleh karena itu, alih-alih diterima pikirannya, ia dipecat dan dieliminasi dari pekerjaannya.
Tapi cendekia itu pun harus berani bertanya, "Seandainya bukan Max Havelaar siapa kiranya yang berani menelanjangi Belanda pada masa itu." Tentu bukan Christiaan Snouck Hurgronje atau Abendanon, bahkan Van Deventer yang semata menjadi skrup kolonial kendati pernah mengusulkan konsep seperti srigala berbulu domba. Eduard Douwes Dekker, melalui makelar dagang kopinya, mengucek-ngucek sikap eksploitatif Belanda. Meminjam kata-kata Pramoedya (1999), Max Havelaar sedang "membunuh kolonialisme".
Karakter Max Havelaar akhirnya memberi inspirasi banyak pihak tentang kejamnya kolonialisme. Bahkan sebuah organisasi pendukung fair trade di Swiss berupaya untuk menjadi mediator kopi yang adil. Maksudnya, ketika kita minum kopi di warung kopi waralaba yang mahal, fair trade organization berusaha meningkatkan harkat para penanam kopinya atau membantu masyarakat yang berhasil menanam kopi dengan baik, tapi selalu tidak bisa menjualnya dengan harga yang wajar akibat permainan calo kopi yang teramat serakah bak tokoh Droogstoppel dalam Max Havelaar itu.
**
KALAU Belanda bisa kaya karena kopi Indonesia, mengapa kita tidak bisa meningkatkan harkat petani kopi, pedagang kopi, peminum kopi, dan siapa pun yang terlibat dengan kopi dengan cara yang lebih baik.
Sebagian besar penjaja kopi di kota-kota besar Indonesia itu datang dari negeri "antah berantah" dan sebagian besar di antaranya hanya "konsumen" saja. Kopi tubruk pun belum menjadi racikan pilihan. Kendati wilayah Priangan pernah menjadi lahan penanaman kopi, belum ada istilah "priangan blend" atau "sangkuriang blend". Lebih menyedihkan lagi, sebagian konsumen kelas menengah atau mereka yang kebelet dengan gaya hidup tertentu merasa belum ngopi kalau belum menghirup kopi seduhan warung kopi waralaba yang harganya bisa di atas 1-2 dolar AS per gelas.
Sebetulnya, ribuan mulut menyambangi Bandung setiap akhir pekan. Hal ini merupakan kesempatan yang baik untuk penanam kopi, penyangray, dan siapa pun yang suka kopi untuk mempromosikan wisata ngopi ala Bandung.
Saya bermimpi, tokoh semacam Widyapratama (50), misalnya, dari Kopi Banceuy itu, atau NHI, atau Dinas Pariwisata Jawa Barat, atau mahasiswa tataboga dari UPI dan asosiasi pengusaha kopi Indonesia bisa menjadi motor kegiatan semacam ini dan mengedukasi publik tentang pernak-pernik ngopi sambil mempromosikan "Bandung Coffee Tubruk Festival" atau bikin kenduri "Ngopi Euy".
Max Havelaar dan makelar kopi Batavus Droogstoppel pun mungkin tersenyum dan akur karenanya.***
Penulis, penikmat kopi arabika tanpa gula. E-mail: tsx60@yahoo.com.
No comments:
Post a Comment